Pujisyukur kami penjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Demokrasi Pancasila”. Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas yang diberikan dalam mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan di Sekolah Tinggi Manajemen Laporan. Dalam Penulisan makalah ini kami

Dalam hal penyelenggaraan negara asas demokrasi berkaitan erat dengan? Jawaban Dalam penyelenggaraan negara, asas demokrasi adalah asas yang berkaitan erat dengan partisipasi aktif masyarakat dalam membangun negeri. Hal ini karena penerapan demokrasi akan memberikan ruang bagi masyarakat untuk menyatakan pendapatnya. Salah satu wujudnya adalah kritik terhadap kebijakan dan program pemerintah. Penjelasan Alasan ini pulalah yang kerap menjadikan kualitas penerapan demokrasi sebagai salah satu indikator kemajuan bangsa. Masyarakat yang aktif dalam pengawasan pemerintah dianggap mampu mendorong tata kelola pemerintahan yang baik. Selain itu, partisipasi aktif masyarakat juga dapat mendorong semakin berkurangnya tindakan korupsi. Pelajari lebih lanjut tentang materi demokrasi pada 8422229″ class=”sg-link”>8422229 BelajarBersamaBrainly RELASIDEMOKRASI DAN KEKUASAAN. Penulis: Syarief Aryfaid. 1. Demokrasi. Demokrasimerupakan sebuah istilah atau label untuk mengatakan bahwa konsepsi tentang sistem penyelenggaraan pemerintahan yang dianggap relevan saat ini adalahdengan memposisikan masyarakat sebagai pemegang kedaulatan dan diselenggarakan melalui

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Salah satu persoalan yang menjadi perhatian saya dalam perumusan perubahan UUD 1945 dalam rapat PAH I BP MPR adalah rumusan Pasal 1 Ayat 2 UUD 1945 yang ada sekarang. Rumusan Pasal I Ayat 2 tersebut berbunyi "Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar." Implikasi dari bertakunya Pasal I Ayat 2 tersebut adalah perubahan struktur lembaga-lembaga negara setelah perubahan UUD 1945. Sekarang tidak tagi dikenal lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara. Yang ada adalah lembaga- lembaga negara yang memiliki fungsi perwakilan dan yang tidak memilikinya. Pasal I Ayat 2 tersebut memuat dua prinsip. Pertama, prinsip kedautatan rakyat atau demokrasi, yang terdapat dalam kalimat "kedaulatan ada di tangan rakyat." Kedua, prinsip negara hukum atau konstitusionalisme, yang tersirat dalam kalimat "dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar." Paduan dari kedua prinsip tersebut menjelaskan bahwa kedaulatan rakyat di dalam pelaksanaan sebuah sistem kenegaraan harus ada koridor dan batas-batasnya. Tanpa itu, kedautatan rakyat bisa digunakan secara sewenang-wenang. Dalam konteks kedaulatan rakyat ini, ada dua hal yang harus dibedakan; kedaulatan yang masih berada di tangan rakyat dan kedaulatan yang telah dilimpahkan kepada atau dilaksanakan dalam kerangka Undang-Undang Dasar. Sebagai sebuah potensi, kedaulatan ada di tangan rakyat" masih tetap eksis dalam genggaman rakyat. Namun, begitu kedautatan dilaksanakan oleh lembaga-lembaga negara, maka lembaga-lembaga negara tersebut tidak boleh melaksanakan kedaulatan itu tanpa batas. Batas-batasnya sudah ditentukan oleh UUD. Dengan demikian, demokrasi berjalan berdasarkan atas hukum karena dalam pasal 1 ayat 3 UUD 1945 menjelaskan bahwa Negara Indonesia adalah Negara dimensi lain dalam kedaulatan rakyat dalam ketentuan Pasal 1 Ayat 2. Mengacu pada ketentuan tersebut, di dalam UUD 1945 dikenal dua macam kedaulatan langsung, di mana rakyat melakukan secara langsung kedaulatannya. Kedua, kedaulatan yang dilakukan oleh badan-badan perwakilan. Terkait kedaulatan langsung, dalam UUD telah diatur soal pemilihan umum Pemilu. Pemilu adalah wujud kedaulatan rakyat yang dilakukan secara langsung. Dalam pemilu rakyat memilih anggota DPR/DPRD, DPD, dan juga Presiden dan Wakil dilaksanakan secara langsung, proses berikutnya, menurut Konstitusi, kedaulatan dilakukan oleh badan perwakilan. Dan di Indonesia ada tiga lembaga perwakilan, Persoalannya kemudian adalah siapa yang disebut badan perwakilan? Dalam memahami lembaga perwakilan menurut UUD, orang tidak bisa terpaku pada adanya kata "perwakilan" dalam nama sebuah lembaga; seperti Dewan PerwakiLan Rakyat atau Dewan Perwakilan Daerah. Presiden adalah juga manifestasi dari perwakilan karena Presiden dipilih langsung. Oleh karenanya, pilar dari Lembaga perwakilan, yang melaksanakan kedaulatan setelah kedaulatan langsung, adalah tiga lembaga; DPR, DPD, dan Presiden. Lembaga perwakilan DPR dan lembaga perwakilan Presiden yang orang-orangnya dipilih langsung oleh rakyat bertemu membentuk undang-undang. Setanjutnya, lembaga perwakilan DPR dan Lembaga perwakilan DPD yang orang-orangnya dipilih langsung bertemu dalam forum yang bernama MPR untuk membuat Undang-Undang Dasar. Singkatnya, DPR, DPD, dan Presiden adalah lembaga-lembaga Negara yang berfungsi sebagai lembaga perwakilan. Ini adalah sebuah bangunan sistem kenegaraan yang menganut sistem Hukum dan mestinya sistem tersebut sebagai kontinuitas dalam sebuah arus yang mengalir. Kedaulatan pertama berasal dari rakyat. Namun, adalah sebuah anomali jika rakyat metaksanakan tugasnya tersebut setiap hari. Itu tidak mungkin. dalam salah satu teori demokrasi dikatakan tentang pemerintahan oleh yang banyak rule of the majority. Kalau yang banyak yang memerintah, lantas siapa yang diperintah? Tidak mungkin yang diperintah yang sedikit. Teori rule of the majority sejatinya menyiratkan ide tentang kedaulatan rakyat. Yang disebut majority dan minority adalah mereka yang mewakili rakyat dalam lembaga-lembaga perwakilan. Pada saat kedaulatan dilakukan oleh lembaga perwakilan terdapat benang merah yang menghubungkan pada kedaulatan langsung, yakni bahwa rakyat secara tangsung memilih orang yang duduk di tembaga perwakilan. Anggota perwakilan tidak lagi bertumpu pada satu lembaga seperti MPR seperti yang terjadi sebelumnya. Pilar perwakilan ada tiga; DPR, DPD, dan Presiden. Hal ini karena mereka semua dipilih langsung oleh itu, lembaga-lembaga lain seperti BPK, MA, MK, dan lainnya bukan pelaksana kedaulatan langsung. Lembaga-lembaga itu hanya melaksanakan fungsi-fungsi tertentu. Ada lembaga yang berfungsi menegakkan rule of law, yakni lembaga-lembaga pelaku kekuasaan kehakiman. Ada pula lembaga yang berfungsi mengontrol terpenuhinya kriteria tersetenggaranya sebuah sistem good governance, yakni BPK. Pertanyaannya adalah bagaimana hubungan antara lembaga perwakilan yang melaksanakan kedaulatan rakyat dan lembaga-lembaga fungsional? Inilah makna kalimat "menurut Undang-Undang Dasar." Artinya, meskipun lembaga-lembaga perwakilan dipilih langsung oleh rakyat, namun rakyat tidak melimpahkan kewenangan seluruhnya kepada mereka. Rakyat melimpahkan kewenangannya secara terbatas. Misalnya, DPR dan Presiden diberi kewenangan membuat undang-undang. Namun, keduanya dibatasi syarat, yakni tidak boleh metanggar ketentuan tentang HAM, misalnya. Di dalam dokumen yang sama baca UUD yang memberi mereka kewenangan terkait dengan kedautatan rakyat, dicantumkan pula batasan-batasan itu. di dalam dokumen tersebut, misalnya, juga ditentukan sebuah batasan bahwa disaat membuat undang-undang, maka undang-undang tersebut tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Pada saat yang sama, meskipun kedua lembaga perwakilan tersebut berwenang memilih MA dan MK, pada saat itu juga kedua tembaga perwakilan itu harus tunduk kepada Undang-Undang Dasar. Apa artinya? Bahwa menurut UUD, MK dan MA itu diberi independensi. Itu merupakan batas dari kewenangan sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945 tentang peran dan fungsi serta kewenangan dari kedua Lembaga tidak bisa dikatakan bahwa sebagian besar kedaulatan rakyat terdapat dalam ketiga tembaga perwakilan, sementara sisanya diberikan kepada lembaga negara lainnya. Pemahaman itu kurang tepat. Kedautatan tetap berada di DPR, Presiden, dan DPD. Namun, dalam metaksanakan kedaulatan rakyat itu, mereka dibatasi oleh UUD. Dibatasi bukan berarti bahwa sisa kedaulatan itu diberikan kepada yang membatasi. Kedaulatan itu dipagari oleh prinsip-prinsip hak asasi manusia dan kemandirian lembaga-lembaga negara lainnya. Selain adanya pagar yang membatasi, juga terdapat kewajiban yang harus dilaksanakan. Misalnya saja kewajiban yang ditetapkan Pasal 31 UUD 1945. Lalu, lembaga apa yang menjamin terlaksananya kewenangan tersebut tanpa mengurangi kewenangan lembaga lain, dengan memahami sistem demokrasi yang hidup dalam lembaga konstitusi kita ? Pada dasarnya di jelaskan dalam Pasal 24 C UUD 1945 menetapkan empat kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pernbubaran partai politik, dan memutus sengketa tentang hasil pernilihan samping empat kewenangan tersebut, secara tegas dinyatakan pula oleh Pasal 24C Ayat 2 UUD 1945 bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai kewajiban untuk memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Ketentuan itu berhubungan dengan Pasal 7A dan Pasal 7B UUD 1945 yang berkaitan dengan proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakii Presiden dalam masa antara empat kewenangan dan satu kewajiban tersebut, dua kewenangan pertarna yaitu untuk menguji undang-undang terhadap UUD, dan memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD menjadikan Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah badan peradilan yang berkarakteristik sendiri. Kewenangan tersebut hanya dimiliki oleh Mahkarnah Konstitusi, yaitu kewenangan untuk pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat yang dipunyai oleh Mahkamah Konstitusi dengan dua kewenangan pertama tersebut adalah karakteristik sebuah peradilan tata negara, sedangkan pada kewenangan lainnya karakteristik yang demikian tidak terlihat secara langsung. Adanya dua kewenangan pertama tersebut menjadikan lembaga peradilan yang melaksanakannya patut atau tepat untuk diberi nama Mahkamah Konstitusi. Hal yang demikian tidaklah terkait dengan dua kewenangan yang lain. Artinya, tanpa dua kewenangan yang pertama tersebut meskipun tetap mempunyai kewenangan lainnya, lembaga peradilan yang demikian tidak tepat untuk disebut atau dinamai Mahkamah Konstitusi. 1 2 Lihat Hukum Selengkapnya

PengertianPartisipasi Politik. Partisipasi politik adalah keterlibatan seseorang atau sekelompok orang dalam kegiatan politik. Partisipasi politik merupakan kegiatan yang dilakukan oleh warga negara, baik secara individu maupun kolektif, atas dasar keinginan sendiri maupun dorongan dari pihak lain yang bertujuan memengaruhi keputusan politik

Ilustrasi demokrasi. Foto VectorMine/ShutterstockIndonesia merupakan negara yang menganut sistem demokrasi, hal ini diisyaratkan di dalam Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”Kemudian, Indonesia sebagai negara demokrasi juga bisa kita lihat pada Pasal 6A UUD NRI 1945 yang mengatur mengenai pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, Pasal 18 Ayat 3 dan 4 UUD NRI 1945 yang mengatur mengenai pemilihan DPRD provinsi dan kabupaten/kota, serta pemilihan gubernur, bupati, dan wali terkait demokrasi pun bisa kita lihat pada Pasal 19 Ayat 3 UUD NRI 1945 yang mengatur mengenai pemilihan umum pemilu anggota DPR, Pasal 22C Ayat 1 pemilu untuk anggota DPD. Bahkan, di dalam UUD NRI 1945 BAB VIIB tentang Pemilihan Umum mengisyaratkan bahwa Indonesia merupakan negara yang menganut asas demokrasi. Foto create jobs 51/ShutterstockDemokrasi secara sederhana bisa kita pinjam dari pernyataan Presiden ke-16 Amerika Serikat, Abraham Lincoln, yakni sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Indonesia sebagai negara demokrasi juga sering didengung-dengungkan oleh banyak orang, terutama oleh politisi. Namun, jika kita membaca sejarah, sebetulnya demokrasi mendapat banyak zaman dulu, demokrasi mendapat kritikan dari para filsuf, salah satunya adalah Socrates. Beliau menyoroti mengenai bagaimana keputusan politik dibuat berdasarkan suara mayoritas. Socrates yakin kalau kebanyakan orang tidak memiliki pengetahuan atau pemahaman yang memadai untuk membuat keputusan yang bijaksana dalam masalah punya kekhawatiran terkait dengan sifat kerumunan dan mobilitas sosial dalam sistem demokrasi. Beliau mengamati bahwa demokrasi bisa memunculkan pertempuran konflik kepentingan di antara pelbagai kelompok sosial dan bisa mengarah pada pertarungan kekuasaan antara elite Socrates, ada juga Plato. Di dalam karyanya The Republic, Plato menyatakan bahwa demokrasi pun berpotensi menjadi tirani mayoritas politik. Menurut beliau, kelompok mayoritas politik yang kuat bisa menjadi tidak responsif terhadap aspirasi publik. Plato memandang bahwa kekuasaan tirani bisa muncul dalam demokrasi, baik melalui kekuasaan individu maupun kekuasaan demokrasi dalam perspektif seorang ilmuwan politik asal Amerika Serikat, Joseph Alois Schumpeter, memandang bahwa demokrasi sebagai suatu sistem yang lebih terfokus pada kompetisi politik daripada pada partisipasi Schumpeter, demokrasi merupakan suatu proses yang melibatkan kompetisi politik di antara para elite politik. Beliau berpendapat bahwa demokrasi sebetulnya adalah "pencalonan dan seleksi pemimpin politik melalui pemilihan umum" atau bisa juga disederhanakan menjadi “demokrasi merupakan pemerintahan oleh para politikus.”.Ilustrasi pemilihan umum. Foto Damar Aji/ShutterstockDalam pandangan beliau, rakyat punya peran yang lebih pasif dalam demokrasi karena mereka hanya memiliki hak untuk memilih para pemimpin mereka dan tidak terlibat secara langsung dalam pengambilan keputusan politik. Schumpeter berpendapat bahwa dalam masyarakat modern yang kompleks, partisipasi massal dalam pengambilan keputusan politik tidak pun menganggap bahwa partisipasi massa hanya sebagai ilusi demokrasi, dan keputusan politik yang penting seharusnya diambil oleh para ahli dan elite politik yang terlatih. Para elit ini bersaing satu sama lain dalam proses pemilihan umum, dan yang terpilih menjadi pemimpin politik yang kita tarik dengan melihat sistem demokrasi Indonesia saat ini, menurut sejumlah ahli, dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir, demokrasi Indonesia terus merosot dari full-blown democracy menjadi demokrasi semu dengan kian banyak democracy merupakan istilah yang menggambarkan demokrasi yang sudah berkembang sepenuhnya. Dalam full-blown democracy, prinsip-prinsip demokrasi, kayak partisipasi politik yang luas, perlindungan hak asasi manusia HAM, kebebasan berpendapat dan pers, pemilu yang bebas dan adil, serta pengendalian kekuasaan publik, semuanya full-blown democracy, rakyat punya hak dan kebebasan yang luas dalam mengambil keputusan politik. Masyarakat memiliki akses yang adil terhadap informasi dan kesempatan yang setara untuk berpartisipasi dalam proses politik serta mempengaruhi kebijakan publik. Namun sayangnya, demokrasi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir harus juga bisa melihat realitas demokrasi di Indonesia pada saat ini, terjadi kemerosotan yang membuat resah masyarakat. Oleh karena itu, penting jika memperbaiki sistem demokrasi kita menjadi lebih baik. Mungkin, demokrasi deliberatif bisa menjadi solusi atas terdegradasinya demokrasi di Indonesia pada saat partisipasi publik. Foto Yanalya/FreepikAdanya istilah deliberatif pada demokrasi merupakan penegasan bahwa ada pendekatan yang berbeda dalam melihat demokrasi, yakni dengan mengupayakan peningkatan kualitas demokrasi saat ini, khususnya berkaitan dengan partisipasi berasal dari bahasa Latin, yakni deliberatio yang berarti konsultasi, musyawarah, dan menimbang-nimbang. Istilah demokrasi deliberatif diperkenalkan oleh Bessette, serta yang berjasa dalam mengembangkan demokrasi ini adalah Jürgen sederhana, demokrasi deliberatif diartikan sebagai suatu konsep dalam teori politik yang menekankan pentingnya diskusi, refleksi, dan pertimbangan yang mendalam ketika pengambilan keputusan politik. Demokrasi deliberatif merupakan ragam demokrasi yang menjadikan deliberasi sebagai elemen utama dalam proses pengambilan deliberatif menurut Jürgen Habermas adalah suatu konsep yang mengedepankan komunikasi rasional dan diskusi publik yang bebas sebagai landasan bagi pengambilan keputusan politik yang demokratis. Menurut beliau, demokrasi deliberatif membutuhkan adanya ruang publik yang terbuka, inklusif, dan bebas untuk diskusi dan perdebatan antara warga ruang publik ini, individu-individu dengan berbagai pandangan, kepentingan, dan latar belakang dapat bertemu dan secara rasional membahas isu-isu politik yang relevan. Diskusi ini bertujuan untuk mencapai kesepahaman bersama dan menemukan solusi yang terbaik untuk kepentingan publik. Habermas pun menekankan pentingnya prinsip kesetaraan dalam demokrasi warga negara memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam diskusi dan memiliki kebebasan untuk menyampaikan argumen-argumen mereka. Dalam konteks demokrasi deliberatif, keputusan politik yang dihasilkan harus didasarkan pada kekuatan rasional argumen, bukan dominasi kekuasaan atau kepentingan kelompok parpol di Indonesia. Foto Yunus Nugraha/ShutterstockDemokrasi deliberatif menurut Habermas juga menghubungkan erat dengan konsep demos yang merupakan komunitas inklusif dari warga negara yang berkomunikasi dan berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Melalui diskusi publik yang berkualitas dan inklusif, demos dapat membentuk opini publik yang berpengaruh dalam menentukan arah kebijakan politik dan mempengaruhi tindakan demokrasi deliberatif, tujuan utamanya adalah mencapai persetujuan rasional dan inklusif yang melayani kepentingan umum dan memperkuat legitimasi keputusan politik. Namun, penting untuk dicatat bahwa demokrasi deliberatif juga menjadi subjek perdebatan dan tantangan praktis dalam demokrasi deliberatif, proses pengambilan keputusan didasarkan pada diskursus yang terbuka dan adil antara warga negara yang memiliki beragam pandangan dan kepentingan. Konsep demokrasi deliberatif mengajukan bahwa keputusan politik yang lebih baik dapat dicapai melalui dialog yang rasional dan inklusif, yang semua pihak yang terlibat memiliki kesempatan untuk berbicara, mendengar, dan memberikan argumen-argumen yang berlandaskan informasi dan pemikiran yang ini bertujuan untuk mencapai pemahaman bersama, mencari konsensus, dan mempertimbangkan kepentingan publik secara menyeluruh. Dalam demokrasi deliberatif, partisipasi aktif dan responsif dari masyarakat sangat negara didorong untuk terlibat dalam forum publik, pertemuan masyarakat, atau panel diskusi yang melibatkan pemikiran kritis, mendengarkan pandangan yang berbeda, dan mencoba memahami sudut pandang yang beragam. Prinsip inklusivitas dan kesetaraan dalam akses terhadap diskusi dan pengambilan keputusan juga ditekankan dalam demokrasi deliberatif. Tujuan akhir demokrasi deliberatif adalah mencapai keputusan yang lebih baik secara kualitas, lebih akuntabel, dan lebih mewakili kepentingan masyarakat secara deliberatif secara teoritis bisa diterapkan di Indonesia, seperti halnya di negara-negara lain. Konsep demokrasi deliberatif, yang menekankan pada partisipasi publik, diskusi rasional, dan pengambilan keputusan berdasarkan argumentasi yang baik, dapat menjadi landasan untuk memperkuat sistem demokrasi di tetapi, implementasi demokrasi deliberatif di Indonesia menghadapi sejumlah tantanganPertama, tingkat partisipasi publik yang rendah menjadi masalah utama. Partisipasi publik yang luas dan inklusif adalah salah satu prinsip penting dalam demokrasi deliberatif, namun terdapat kendala seperti kurangnya kesadaran politik, akses terbatas terhadap informasi, dan kurangnya budaya partisipasi aktif dari diversitas sosial, budaya, dan politik di Indonesia menjadi tantangan dalam mengimplementasikan demokrasi deliberatif. Negara yang luas dan beragam seperti Indonesia menghadapi tantangan dalam memfasilitasi diskusi publik yang mempertimbangkan berbagai perspektif dan kepentingan yang kurangnya lembaga dan mekanisme formal untuk mendukung demokrasi deliberatif menjadi hambatan. Penting untuk memiliki ruang publik yang terbuka, inklusif, dan bebas bagi warga negara untuk berdiskusi dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan politik. Institusi yang mendukung transparansi, akuntabilitas, dan akses yang adil terhadap informasi juga harus demikian, beberapa langkah telah diambil di Indonesia untuk meningkatkan partisipasi publik dan mendorong demokrasi deliberatif. Misalnya, penggunaan mekanisme partisipatif seperti musyawarah desa, forum publik, dan panel warga telah diadopsi dalam beberapa itu, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi juga dapat dimanfaatkan untuk memfasilitasi partisipasi publik yang lebih luas dan inklusif. Penting untuk diingat bahwa implementasi demokrasi deliberatif bukanlah suatu proses instan, tetapi membutuhkan perubahan budaya politik dan komitmen yang kuat dari pemerintah dan kerja sama. Foto Fresh Stocks/ShutterstockMemperkuat partisipasi publik, meningkatkan akses terhadap informasi, mendukung lembaga, dan mekanisme yang memfasilitasi diskusi publik yang berkualitas, dan membangun kesadaran politik yang lebih baik adalah langkah-langkah penting dalam mendorong demokrasi deliberatif di ketahui bersama, masyarakat sering merasa tidak percaya terhadap wakil rakyat dalam proses pembentukan undang-undang. Oleh karena itu, mereka sering memilih jalur lain, seperti melakukan aksi demonstrasi di depan gedung MPR/DPR, untuk mengekspresikan aspirasi mereka dan menolak kebijakan DPR sebetulnya menyediakan jalur, seperti rapat dengar pendapat umum atau pertemuan tertentu, masyarakat lebih memilih jalur-jalur tersebut, terutama melalui lembaga swadaya masyarakat, tetapi cara ini terkadang dianggap tidak efektif dibandingkan dengan cara-cara yang ditulis oleh Liza Farihah dan Della Sri Wahyuni, hal tersebut disebabkan karena media yang dipakai sebagai sarana komunikasi antara wakil rakyat dan konstituennya sering tidak memberikan jawaban atas tuntutan mereka, karena keputusan tetap berada di tangan wakil rakyat Farihah dan Della Sri Wahyuni juga menyoroti bahwa kita juga tidak dapat mengabaikan fakta bahwa masyarakat memiliki keterbatasan dalam memahami makna partisipasi dan aspirasi. Terkadang, kunjungan kerja wakil rakyat saat masa reses dimanfaatkan sebagai kesempatan untuk meminta bantuan material untuk pembangunan daerah setempat, daripada berdiskusi atau berdialog tentang isu-isu publik yang akan dijadikan kebijakan. Dalam pembentukan opini publik, prosesnya juga tidak netral, melainkan sering dibentuk atau bahkan dikendalikan oleh kepentingan-kepentingan demokrasi deliberatif mungkin cuma sebuah angan-angan belaka. Ruang publik sesuai perspektif Habermas belum ditemukan di Indonesia karena sistem keterwakilan yang merupakan ciri demokrasi perwakilan dianggap sebagai keterwakilan yang palsu, karena tidak ada posisi tawar yang seimbang antara konstituen dan wakil MPR/DPR RI. Foto Bimo Pradsmadji/ShutterstockHal ini menyulitkan terbentuknya ruang publik dalam sistem keterwakilan seperti itu. Ruang publik tidak hanya terjadi melalui forum-forum seperti rapat dengar, diskusi publik, atau rumah aspirasi saat masa menurut Guru Besar Filsafat pada Universitas Pelita Harapan, Jakarta, Fransisco Budi Hardiman, konsep demokrasi deliberatif sebetulnya sudah ada di Indonesia melalui sistem politik yang demokratis dengan penerapan trias politica eksekutif, legislatif, dan yudikatif.Menurut beliau, prinsip dasar demokrasi deliberatif sangat sederhana, cuma perlu menambahkan ruang publik, dan bisa dilakukan dengan 1 Memperkuat praktik-praktik yang sudah ada, 2 meningkatkan jumlah institusi demokratis dan menghilangkan hambatan-hambatan komunikasi dalam sistem politik, dan 3 meningkatkan jumlah institusi intermediasi yang memperkuat masyarakat sipil untuk melindungi kekuatan masyarakat sipil dan menyatakan bahwa semua hal tersebut sudah ada di Indonesia, cuma perlu diperkuat secara radikal, bahkan melalui amandemen konstitusi yang memastikan distribusi yang adil dari hak-hak komunikasi kesimpulan dari beliau, yakni demokrasi deliberatif masih belum cocok untuk Indonesia. Namun, beliau menyatakan bahwa Indonesia sedang berupaya mendekatinya, meskipun masih ada tuntutan yang berlebihan. Hardiman pun menyarankan supaya Indonesia mendekati demokrasi deliberatif dengan cara meningkatkan jumlah praktik deliberasi publik dalam masyarakat, mengintegrasikan pemilihan umum untuk legislasi, dan mengadopsi legislasi publik yang mendukung deliberasi L. dan Wahyuni, 2015. Demokrasi Deliberatif dalam Proses Pembentukan Undang-Undang di Indonesia Penerapan dan Tantangan ke Depan. 2018. Demokrasi Deliberatif Menimbang Negara Hukum dan Ruang Publik dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas. Jakarta Kanisius.Muthhar, 2016. MEMBACA DEMOKRASI DELIBERATIF JURGEN HABERMAS DALAM DINAMIKA POLITIK INDONESIA. Ushuluna, 2 2.Rastati, R. 2020. Konsep Model Demokrasi Deliberatif Untuk Indonesia. BRIN.

l b. s. seri Politik. Bentuk dasar dari pemerintahan. Portal Politik. l. Demokrasi adalah sistem pemerintahan dari masyarakat/rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat, dimana setiap orang dapat mengambil bagian perihal keputusan yang akan mempengaruhi kehidupannya dalam bernegara. [ butuh rujukan] Demokrasi ialah bentuk pemerintahan di mana semua

Massa dari Aliansi Demokrasi Rakyat peringati 25 tahun reformasi di DPR, Minggu 21/5/2023. Foto Dok. IstimewaIndonesia sebagai negara yang lahir dari penindasan dan penjajahan hak atas setiap manusia, merebut kemerdekaan dari para penjajah untuk menata tatanan kemasyarakatan yang ramah akan keadilan, hak, dan kesejahteraan warga negaranya. Perjuangan yang tidak singkat dirasakan sejak tahun 1509 sampai 1945, Indonesia baru mendapatkan pengakuan atas kedaulatan negaranya. Demokrasi sebagai sistem yang lahir pertama kali di Yunani kuno menghendaki terjadinya keterlibatan rakyat secara aktif dalam menentukan kebijakan yang berkaitan dengan negara, sehingga hak-hak atas warga negara mencoba untuk dilindungi oleh negara dalam proses penyelenggaraan negara yang berdasar asas dari rakyat, oleh rakyat dan untuk dengan kuantitas penduduk yang cukup banyak mencapai jiwa, dengan kompleksitas komponen penyusun lain seperti suku, budaya serta adat istiadat yang sangat beragam, berpotensi melahirkan dominasi serta deskriminasi yang dilakukan antar warga negara. Demokratisasi menjadi asas penting dalam penyelenggaraan negara yang sangat besar secara kuantitas penduduk dan plural secara komponen sosial-budaya. Negara harus hadir menjamin hak-hak warga negara, melibatkan secara aktif aspirasi warga negara serta memastikan tidak terjadinya dominasi antar warga negara yang akan berujung deskriminasi salah satu terus bertransformasi secara aktif menjawab kebutuhan zaman, begitupun dengan teknologi yang perlahan membersamai segala aspek kehidupan, tanpa terkecuali dalam ranah kehidupan bernegara yang perlahan mengalami efek transisi digital. Perubahan ini memberikan dampak yang signifikan, dengan adanya digitalisasi dalam bernegara, memungkinkan terjadi nya konversi ruang publik dan informasi yang terbuka, yang tidak hanya dapat diakses oleh sebagian golongan. Sehingga, asas-asas dalam demokrasi mampu menjangkau kesadaran masyarakat tanpa batas dimensi ruang dan waktu. Di sisi lain, digitalisasi ini mampu membuka peluang terjadinya deviasi para aktor pemerintahan, yang menghimpun parameter suara publik diukur sejauh mayoritas suara maya, yang menjadikan bias korelasi kebijakan yang dikeluarkan dengan aspirasi rakyat sebenarnya. Sehingga, tidak sedikit para pejabat yang menaruh fokus pertanggungjawaban jabatan hanya dalam pencitraan ruang maya, yang tidak bisa dipastikan kesesuaian kredibilitas kinerja yang ditampilkan dengan realitas yang ada. Hal ini menjadi persoalan yang cukup krusial, dimana demokratisasi bersanding dengan bias digitalisasi yang akan berdampak banyak dengan proses penyelenggaraan tata kelola Demokratisasi dan Perkembangan DigitalisasiIlustrasi digitalisasi. Foto ShutterstockDemokrasi lahir menjadi jawaban atas sejarah panjang dinamika sosial politik yang berkembang cukup pesat dalam melahirkan gelombang skeptisisme warga negara terhadap sistem partisipasi publik yang cenderung terjebak dalam praktik otoritarianisme. Demokrasi cukup mendapatkan atensi dalam konteks paradigma sistem partisipasi warga negara, bahkan mendapatkan stratum teratas yang diproyeksikan mampu mengelaborasikan hubungan antara aspirasi masyarakat kedalam kebijakan negara. Demokrasi menghendaki adanya liberalitas warga negara yang kondusif dan konstruktif dalam partisipasi menyuarakan aspirasi, melibatkan diri dalam kontestasi ataupun mengawal laju regulasi yang berpihak pada kepentingan masyarakat seluruhnya, sehingga terbentuk equilibrium sosial yang didasarkan atas partisipasi warga negara. Inklusivitas kultur partisipasi memungkinkan proses berjalannya negara mampu mengendalikan dinamika kekuasaan yang cenderung melanggengkan kepentingan melalui integrasi kepentingan masyarakat dengan tujuan negara yang didasarkan atas proses yang demokratis, seperti dalam bahasanya Abraham Lincoln “Pemerintahan dari rakyat dan untuk rakyat” sehingga rakyat memilki hak dan suara yang sama didalam pengaturan kebijakan pemerintahan, dengan asumsi ruang potensi terbentuknya kekuasaan absolut dapat dipastikan untuk tidak tumbuh diantara sistem yang ada. Indonesia sebagai negara yang lahir dari rahim pluralitas, mengharuskan suara dari setiap variabel masyarakat yang ada terakomodir didalam manifestasi kebijakan dan aturan negara, sehingga tidak terjadi deskriminasi pada kelompok tertentu yang memungkinkan terjadinya disintegrasi antar variabel masyarakat. Transisi digital menyasar berbagai negara, tanpa terkecuali Indonesia. Perkembangan tersebut tidak hanya merubah sistematika dan pola yang ada dalam konteks teknologi. Namun, merubah aspek sosiologis masyarakat, dimana terjadi pergeseran paradigma cara masyarakat menilai realitas. Efisiensi, transparansi dan akuntabilitas menjadi parameter utama masyarakat memandang berbagai pola kerja instansi yang ada. Ruang partisipasi yang sebelumnya hanya memungkinkan diakses oleh kalangan strata tertentu, dan hanya mengandalkan platform konvensional dengan laju distribusi informasi sejauh apa yang dielaborasi oleh para pihak yang berperan sebagai awak media. Hari ini dengan proses perkembangan digitalisasi memungkinkan masyarakat tidak hanya sebagai objek informasi. Namun, dapat secara aktif sebagai aktor dalam mendistribusikan informasi untuk khalayak umum Starubhaar & LaRose, 2006.Dalam aspek keterjangkauan informasi pun mengalami pergeseran yang cukup signifikan, masyarakat tanpa memandang hierarki tertentu memungkinkan mendapatkan substansi yang serupa. Sehingga, realitas berjalan diantara pengawasan dan pengawalan kesadaran masyarakat seluruhnya. Transformasi peran keterlibatan masyarakat sebagai Citizen Journalisme diperkuat dengan adanya perbaikan infrastruktur teknologi yang ada, perbaikan yang diproyeksikan untuk dapat berkembang secara eksponensial keseluruh daerah di Indonesia mampu mempercepat proses transisi yang terjadi, sehingga tatanan masyarakat digital dalam mengawal demokrasi dapat terbentuk secara tahun 1998 mengikrarkan diri melalui gerakan komunal masyarakat diberbagai daerah untuk memutus rantai kebijakan negara yang tidak berbasis kepentingan rakyat. Tuntutan pelayanan penyelenggaraan pemerintahaan yang “clean and good government” menjadi tuntutan yang mutlak bagi masa reformasi. Sehingga korupsi, kolusi dan nepotisme yang mengakar kuat sebelumnya berupaya diminimalisir dengan tuntutan penyelenggaraan negara yang mengedepankan asas transparansi, akuntabilitas dan berbasis pada hukum yang berlaku. Akurasi keterwakilan aspirasi rakyat menjadi aspek yang krusial dalam penyelenggaran pemerintahan setelah masa skeptisisme masyarakat memuncak pada pemerintahan yang dibarengi dengan proses transisi digital memungkinkan efektivitas rakyat mengawal pemerintahan yang berjalan. Namun, menjadi bias bagi parameter suara rakyat yang sebenarnya, ketika kecenderungan partisipasi dan aspirasi seolah diukur dalam media sosial. Dengan jumlah data pengguna sebesar 160 juta masyarakat akan memungkinkan terjadinya mobilisasi dan dominasi atas nama rakyat oleh kalangan kepentingan tertentu melalui buzzer atau pengguna media sosial yang tidak sebenarnya, bahkan deliberasi ruang publik pun akan cenderung elitis. Sebab narasi bias yang berkembang memungkinkan terbentuk sejauh kesepakatan dan kekuatan antar ruang politik yang terjadi memberikan perubahan pula pada aspek aktivitas pertanggungjawaban aktor politik, yang memungkinkan kinerja dilakukan sejauh pencitraan di media sosial. Dalam demokrasi deliberatif kekuatan komunikasi menjadi proyeksi penting atas setiap aktor politik dalam menghimpun simpati warga negara dengan berbagai pendekatan yang reflektif, integral dengan prinsip kultur yang mengakar kuat di masyarakat dan pendekatan yang non-koersif. Menurut survey yang dilakukan pada salah satu media sosial yang memiliki frekuensi yang cukup tinggi, serta mampu mempengaruhi tren dan opini di Indonesia bahkan dunia yaitu twitter. Survey yang dilakukan dengan metode Frequency of Interaction Analysis FIA sepanjang 1 Juli hingga 20 Desember 2017, mampu menghimpun data sejumlah 1000 akun yang dimiliki oleh pejabat publik dan kepala daerah di Indonesia untuk mengkomunikasikan kinerja nya pada rakyat Indonesia. Hal ini menjadi kabar baik atas keterbukaan dan transparansi birokrasi, namun memungkinkan pula bias pertanggungjawaban dan orientasi kinerja sejauh komparasi tren dan prioritas program yang dilakukan suatu daerah dan direalisasikan di daerah lain atas dasar kepuasan masyarakat daerah yang berhasil tadi, padahal memungkinkan terjadinya perbedaan kebutuhan dan kepentingannya antar masyarakat Mekanisme Tata Kelola PemerintahanTransformasi sistem dan mekanisme tata kelola bergeser bersama perubahan ruang politik yang ada. Ketika pertisipasi dan dialetika aspirasi hadir di ruang terbuka media sosial, maka penghimpunan parameter aspirasi pun bergerak pada arah yang sama. Kebijakan dan strategi penyelenggaraan pemerintahan secara regulasi menghendaki terjadi nya pergeseran pada media sosial. Hal itu tersemat dalam instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan E-Government di seluruh jajaran pemerintahan secara banyak kebijakan strategis dalam upaya pengembangan E-Government dalam penyelenggaraan pemerintahan, yaitu dengan penerapan Government to Citizens G-to-C yang memungkinkan pemerintah membangun dan merealisasikan berbagai portofolio teknologi infomasi untuk menciptakan komunikasi efektif dengan masyarakat. Penerapan Government to Business G-to-B yang memungkinkan kalangan bisnis untuk dapat mengakses infomasi terkait kebijakan yang dikeluarkan yang menyangkut keberadaan bisnis mereka. Kemudian, penerapan Government to Government G-to-G yang memungkinkan terjadinya kordinasi dan komunikasi antar pemerintah yang satu dengan pemerintah yang lain baik dalam hal program ataupun kebijakan yang saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama lain. Penerapan Government to Employees G-to-E Tipe aplikasi G-to-E yang diperuntukkan untuk aktivitas internal para staff di instansi pemerintahan. Sehingga dengan semua pergeseran penerapan dan tata kelola pemerintahan yang ada memungkinkan terjadinya hubungan pemerintah yang baik dengan masyarakatnya maupun dengan swasta serta berlangsung secara efisien, efektif dan komunikasi terbentuk melalui proses penyatuan kepentingan yang sama, yang ditranformasikan kedalam bahasa yang setara. Menurut Hovland komunikasi bukan hanya proses penyampaian informasi, namun dapat mengkontruksi pendapat umum dan sikap publik. Komunikasi publik dapat ditempuh dengan variasi cara, baik secara komunikasi birokrasi verbal ataupun non-verbal yang ditujukan untuk menekankan, melengkapi dan mengatur resonansi pemahaman publik atas setiap gagasan dan proyeksi program yang akan diagendakan. Karena segala aktivitas inovasi dan efisiensi yang dilakukan, semua ditujukan untuk kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat dengan situasi dan kondisi yang beragam untuk dapat menterjemahkan apa yang di lakukan oleh pemerintah. Hal itu perlu ditempuh secara massif melalui berbagai platform yang berkembang menyentuh lapisan terbawah dari variabel masyarakat, sehingga tidak terjadi miskonsepsi antara pemerintah dengan masyararakat mekanisme tata kelola ini perlu diperkuat dengan kecerdasan masyarakat dalam melakukan pengamatan atas setiap kebijakan dan program yang dihadirkan oleh pemerintah. Dengan aksesibilitas informasi dan transparansi yang lebih mudah diakses oleh masyarakat serta daya magis “viralitas” yang menjadi senjata ampuh bagi masyarakat untuk menampar pemerintah dengan kebijakan atau program yang tidak sesuai dengan kondisi masyarakat. Dapat difungsikan sebagai penguat kedaulatan rakyat dalam pilar demokrasi, bahwa rakyat lah yang memiliki kuasa penuh atas masa depan negara. Sehingga, pertanggungjawaban kinerja pemerintah dan pejabat publik tidak hanya sekedar pencitraan media massa. Serta arah program dan kebijakan bukan sejauh apa yang ramai menjadi perbincangan di media saja. Namun, memiliki dasar program yang empirik sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang semua persoalan yang telah dibahas tuntas didalam artikel ini, dapat disimpulkan bahwa demokratisasi terus berjalan bersama dengan partisipasi masyarakat yang terus berkembang dengan berbagai cara dan model partisipasi yang ada. Di tengah perkembangan digitalisasi dunia, transisi partisipasi publik menuju demokrasi berbasis digital telah banyak berkembang di Indonesia dengan berbagai kelebihan dan kekurangan yang mengiringinya, demokrasi yang memungkinkan partisipasi bagi seluruh rakyat tanpa terbatas pada strata jabatan tertentu, menekankan pada efisiensi, transparansi dan akuntabilitas menjadi identitas tata kelola pemerintahan yang dituntut oleh menjadi bias pula dalam laju informasi yang banyak terdistraksi oleh narasi yang terus berkembang di media sosial, sehingga menciptakan ketidakpastiaan atas informasi yang berkembang atau bahkan memungkinkan terjadinya mobilisasi dan dominasi narasi oleh kepentingan kelompok tertentu. Serta dengan adanya konversi ruang politik yang menjadi akibat dari proses digitalisasi tersebut, mampu merubah paradigma pertanggungjawaban kinerja sejauh apa yang dicitrakan di media sosial. Proses reformasi tata kelola pemerintahan yang berubah bersama dengan proses digitalisasi demokrasi ditujukan hanya untuk menciptakan iklim birokrasi yang efisien, efektif dan ekonomis. Semua itu perlu ditranformasikan dan diterjemahkan dengan baik kepada publik seluruhnya, sehingga tidak terjadi miskonsepsi antara maksud gagasan pemerintah dengan pemahaman masyarakat seluruhnya. Peranannegara dalam bidang hukum. 20 November 2021. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa tujuan Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia antara lain adalah memajukan kesejahteraan umum. Oleh karena itu, bumi dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan Bagaimanarumusan dasar negara yg tercantum dlm piagam Jakarta. 1.kewajiban menjalankan syariat syariat islam bagi pemeluk pemeluknya.2.kemanusian adil & beradab3.persatuan indonesia.4.kerakyatan yg dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dlm permusyawaratan perwakilan. 5.keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. lZnpK3.
  • vb6033qfm0.pages.dev/393
  • vb6033qfm0.pages.dev/336
  • vb6033qfm0.pages.dev/573
  • vb6033qfm0.pages.dev/250
  • vb6033qfm0.pages.dev/206
  • vb6033qfm0.pages.dev/573
  • vb6033qfm0.pages.dev/194
  • vb6033qfm0.pages.dev/13
  • dalam hal penyelenggaraan negara asas demokrasi berkaitan erat dengan